Universitas Esa Unggul – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan oleh DPR RI telah memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Perubahan yang dilakukan terhadap KUHP dianggap sebagai upaya untuk memperbarui hukum pidana Indonesia yang sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi saat ini. Namun, revisi ini juga mengundang kontroversi karena beberapa pasalnya dinilai bermasalah dan berpotensi mengancam kebebasan sipil. Artikel ini akan mengulas dampak dari revisi KUHP serta kontroversi yang menyertainya.

Latar Belakang Revisi KUHP

KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, yang telah berlaku sejak tahun 1918. Seiring berjalannya waktu, banyak yang menganggap bahwa KUHP ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial, politik, dan budaya Indonesia modern. Oleh karena itu, revisi KUHP dianggap perlu untuk menciptakan sistem hukum pidana yang lebih adil dan relevan.

Dampak Positif dari Revisi KUHP

  1. Modernisasi Hukum Pidana: Revisi KUHP mencakup berbagai pembaruan yang bertujuan untuk menyesuaikan hukum pidana dengan perkembangan zaman. Ini termasuk pengaturan lebih jelas tentang tindak pidana baru, seperti kejahatan siber, serta penegasan terhadap hak-hak asasi manusia.
  2. Penguatan Perlindungan Hukum: Beberapa pasal dalam revisi KUHP bertujuan untuk memperkuat perlindungan hukum bagi kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Misalnya, ada ketentuan yang lebih tegas mengenai kekerasan seksual dan eksploitasi anak.
  3. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban: Revisi KUHP mencoba untuk menyeimbangkan antara hak-hak individu dan kewajiban terhadap masyarakat. Dengan adanya pembaruan ini, diharapkan dapat tercipta harmoni antara kebebasan pribadi dan ketertiban umum.

Kontroversi dan Kritik terhadap Revisi KUHP

Meskipun terdapat berbagai pembaruan positif, revisi KUHP juga menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Beberapa poin kontroversial yang menjadi sorotan meliputi:

  1. Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul: Beberapa pasal dalam revisi KUHP dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan berkumpul. Misalnya, ketentuan mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara dapat digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
  2. Moralitas dan Privasi: Revisi KUHP juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan moralitas, seperti perzinaan dan kohabitasi. Banyak yang menganggap bahwa ketentuan ini terlalu mengintervensi ranah privat warga negara dan tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
  3. Kriminalisasi Aktivitas Tertentu: Beberapa aktivitas yang sebelumnya tidak diatur atau tidak dianggap sebagai tindak pidana kini dikriminalisasi dalam revisi KUHP. Hal ini termasuk tindakan yang mungkin dianggap sepele namun kini dapat dikenai sanksi pidana.
  4. Penegakan Hukum yang Arbitrer: Kekhawatiran lain adalah bahwa beberapa ketentuan dalam revisi KUHP dapat digunakan secara arbitrer oleh aparat penegak hukum, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan terhadap masyarakat.

Reaksi Masyarakat dan Upaya Penolakan

Reaksi terhadap revisi KUHP sangat beragam. Beberapa kelompok masyarakat dan organisasi non-pemerintah telah menyuarakan kekhawatiran mereka melalui berbagai aksi protes dan diskusi publik. Mereka menilai bahwa revisi ini tidak cukup melibatkan partisipasi publik dan kurang transparan dalam proses pembuatannya.

Langkah ke Depan

Pemerintah dan DPR perlu mendengarkan suara masyarakat dan mempertimbangkan untuk melakukan evaluasi kembali terhadap pasal-pasal yang kontroversial. Dialog yang konstruktif antara pemerintah, pembuat undang-undang, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa revisi KUHP benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Kesimpulan

Revisi KUHP adalah langkah penting dalam upaya memperbarui sistem hukum pidana di Indonesia. Meskipun ada beberapa pembaruan yang positif, kontroversi seputar beberapa pasal menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa KUHP yang baru dapat diterima dan diterapkan dengan adil. Partisipasi publik dan transparansi dalam proses legislasi harus menjadi prioritas untuk menghindari ketidakpuasan dan potensi konflik di masa depan.

Baca Juga : Universitas Esa Unggul